Hukum
Acara Pidana adalah ketentuan formil yang mengatur jalannya hokum
pidana materil. Bedanya dengan Hukum Pidana Materil adalah Hukum Pidana
Materil mengatur hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan dan yang
seharusnya kita lakukan, bila tidak, maka ada ancaman sanksi.
Pembedaan
ini dapat dilihat dalam perkara misalnya sebagai berikut: Mencuri
adalah Perbuatan yang dilarang (Hukum Pidana materil), bila dilakukan
maka hukum acara pidana (Hukum Pidana Formil) berjalan untuk menegakkan
ideal hukum tersebut.
Ada beberapa urutan tindakan yang dilakukan oleh para penegak hukum dalam hukum acara pidana:
1. Penyelidikan.
Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencari peristiwa yang
berhubungan dengan suatu tindak pidana atau yang diduga sebagai tindak
pidana.
Penyelidik
adalah aparatur negara yang melakukan penyelidikan, kalau kita melihat
KUHP maka Penyelidik adalah kepolisian/POLRI, namun pada prakteknya
penyelidik tidak selalu kepolisian, bisa KPK, Bea Cukai, Bapepam
(berdasarkan UU lex specialis).
Namun
dalam prakteknya, ada beberapa kasus tertentu dimana tahap penyelidikan
langsung dilewati ke tahap penyidikan, misal: Kasus Bom Australia
karena bukti dan tindak pidana sudah jelas. Apabila proses ini yang
dilaksanakan maka tidak ada upaya pemanggilan, yang ada hanya upaya
paksa.
2. Penyidikan.
Penyidikan
adalah tindakan penyidik untk mencari barang bukti, alat bukti, pelaku,
korban untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi.
Penyidik
adalah aparatur negara yang melakukan penyidikan, kalau kita melihat
KUHAP maka penyidik adalah POLRI, atau Pejabat Pegawai Negeri Khusus.
Penyidik mempunyai wewenang untuk:
a. Memanggil Saksi
b. Memeriksa Tersangka
c. Memeriksa Saksi Ahli
d. Melaksanakan
upaya paksa (memberhentikan, memberi pertanyaan, memeriksa. Tanpa
penangkapan, dan penyitaan (makna umum), atau terkait dengan
penangkapan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat (makna khusus)
Hasil penyidikan dituangkan dalam Berita Acara Penyidikan yg kemudian dikirim ke Penuntut Umum untuk Penuntutan.
3. Penyerahan Berkas Perkara.
Penyerahan
berkas Perkara dibagi menjadi 2 tahap, tahap I hanya meyerahkan BAP,
dan tahap II baru menyerahkan Tersangka dan Barang Bukti. Pada tahap I,
tanggung jawab tersangka masih berada di penyidik, sedangkan pada tahap
II, tanggung jawabnya tersangka telah beralih kepada Penuntut Umum.
Penyerahan
dibagi dalam 2 tahap karena pada tahap I, yang diserahkan hanya BAP
supaya dinilai oleh PU kelayakan dan kelengkapannya, kalau belum lengkap
maka diberikan catatan-catatan kepada penyidik untuk melengkapi BAP
dengan tambahan informasi tertentu. Proses penyerahan perkara antara
penyidik dengan Penunut Umum disebut Pra Penuntutan (Ps 110 KUHAP).
Jangka waktu pengembalian berkas dari Penuntut Umum ke Penyidik adalah
14 hari, sedangkan jangka waktu pengembalian berkas perkara dari
penyidik ke Penuntut Umum tidak ada jangka waktunya.
KUHAP
tidak menentukan batas jumlah pengembalian berkas perkara
(bolak-balik),jadi dalam RUU RUU-KUHP (yg tidak kunjung disahkan oleh
DPR) telah dicantumkan pembatasan waktu dan jumlah penyerahan kembali
berkas dari PU ke Penyidik untuk mencegah supaya berkas perkara tidak
bolak-balik.
Apabila
kemudian ternyata berkas tersebut masih belum lengkap, PU melengkapi
sendiri berkas tersebut dalam Penyidikan Lanjutan. Penyidik juga
berwenang mengusulkan pasal-pasal yang dapat dikenakan terhadap
tersangka.
Dalam
proses ini, dikenal istilah SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan), surat ini merupakan salah satu bentuk koordinasi antara
Penyidik dan JPU. Dalam Integrated Criminal Justice System (Sistem
Peradilan pidana Terpadu), begitu ada SPDP, maka JPU sudah mulai
mengkoordinasikan arah perkembangan kasus dan mulai memberikan
masukan-masukan ke penyidik. Hanya saja, dalam prakteknya, terkadang
koordinasi ini tidak berjalan dengan baik.
Selain
SPDP, dikenal juga SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan). Kalau
SPDP belum dikeluarkan, maka SP3 dapat secara langsung dikeluarkan.
Proses pengeluaran SP3 pimpinan mengirimkan “Surat “Perintah”
Penghentian Penyidikan” ke penyidik, kemudian dikeluarkanlah “Surat
“Penetapan” Penghentian Penyidikan”.
Dalam hal sudah dikeluarkan SPDP à SP3 harus ditembukan ke JPU.
4. Penuntutan
Yang
berhak melakukan penuntutan Penuntut Umum. Menurut KUHAP, Penuntut Umum
adalah Jaksa, kecuali untuk TIPIRING (Tindak Pidana Ringan) maka
Penuntut Umum adalah Penyidik. Dalam UU lain juga disebutkan bahwa
Penuntut Umum bisa KPK (dalam tindak pidana korupsi) dan Ad Hoc (Dalam
Pelanggaran HAM berat)
Wewenang
dari Penuntut Umum yang paling utama adalah Membuat Surat Dakwaan, dan
berwenang untuk menentukan pasal yang akan dikenakan pada suatu kasus.
5. Pengadilan
a. Agenda sidang pertama adalah Pembacaan Surat Dakwaan dalam sidang yang dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali untuk perkara tertentu). Hakim
Ketua memerintahkan Jaksa Penuntut Umum menghadapkan terdakwa di sidang
Pengadilan untuk diperiksa. Hakim Ketua Sidang menanyakan identitas
terdakwa, kemudian Hakim Ketua sidang meminta kepada JPU untuk
membacakan dakwaan.
Dakwaan memuat :
1) Identitas Terdakwa
2) Uraian
secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
3) Tidak memenuhi ketentuan tesebut dakwaan batal demi hokum.
Selanjutnya
Hakim Ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah sudah benar-benar
mengerti terhadapa dakwaan tersebut. Apabila terhadap dakwaan tersebut
terdakwa atau Penasehat Hukum keberatan terhadap dakwaan tersebut
terdakwa atau Penasehat Hukum terdakwa dapat mengajukan eksepsi (keberatan yang dapat disampaikan oleh penasehat hukum untuk menyatakan keberatan terhadap syarat formil/ materil).
Eksepsi dapat diajukan dalam ranah Kewenangan Pengadilan (absolut/relatif), dakwaan
tidak disusun secara jelas (obscuur libel), apakah JPU salah mendakwa
orang (error in persona), dakwaan tidak disusun sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, dst.
Atas
Eksepsi ini JPU diberikan kesempatan untuk memberikan Tanggapan yang
pada intinya berisi bantahan JPU atau Eksepsi Terdakwa atau Penasihat
Hukumnya.
Apabila
Majelis Hakim menilai bahwa Eksepsi cukup beralasan maka Majelis Hakim
dapat menyatakan Surat Dakwaan JPU tidak dapat diterima (JPU
diperintahkan memperbaiki Surat Dakwaan) atau batal demi hukum (JPU
diperintahkan menghentikan penuntutan) atau Pengadilan tidak berwenang
mengadili. Jika Majelis menolak Eksepsi Terdakwa maka Putusan Sela akan
diputus bersamaan dengan Putusan Akhir
b. Tahap Pembuktian
Di
tahap pembuktian JPU diberikan kesempatan untuk membuktikan seluruh
Dakwaan dituduhkan pada Terdakwa, dan Terdakwa diberikan juga kesempatan
untuk membuktikan sebaliknya. Pembuktian dilakukan dengan memeriksa
keterangan saksi-saksi, keterangan ahli (jika diperlukan), Surat-Surat,
dan Keterangan Terdakwa. Beban pembuktian ini ada pada JPU
c. Tahap Requisitor (tuntutan)
Setelah
proses pembuktian dinyatakan selesai, JPU mengajukan Surat Tuntutan
(Requisitor) yang berisi kesimulan JPU atas proses pembuktian, dakwaan
apa yang menurut JPU telah terbukti berdasarkan hasil pembuktian, serta
berapa tuntutan pidana yang diminta untuk dijatuhkan kepada Terdakwa.
Bentuk
tuntutan JPU dapat berupa agar Terdakwa dihukum, agar Terdakwa
dilepaskan (ada unsur kesalahan tetapi ada unsur pemaaf dalam diri
terdakwa, atau agar Terdakwa dibebaskan (JPU tidak mendapatkan cukup
bukti, atau tidak terbukti melakukan Tindak Pidana)
d. Tahap Pledoi (Pembelaan)
Terhadap
tuntutan JPU dan hasil pemeriksaan alat-alat bukti (pembuktian)
tersebut Terdakwa berhak mengajukan pembelaan (Pledoi). Dalam pledoi ini
terdakwa dapat memberikan bantahan atas unsur-unsur tindak pidana yang
menurut JPU telah terbukti dalam Requisitornya, maupun adanya alasan
pembenar atau alasan pemaaf atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Pembelaan dapat dilakukan oleh Penasehat Hukum dan atau terdakwa
pribadi. Atas Pledoi dari Terdakwa tersebut JPU diberikan kesempatan
untuk memberikan tanggapanya (Replik), dan atas Replik ini Terdakwa
diberikan kesempatan untuk memberikan Tanggapan atas Tanggapan JPU
tersebut (Duplik), dan seterusnya dengan ketentuan terdakwa selalu
mendapatkan giliran yang terakhir.
6. VONIS (Putusan)
Apabila
semua proses telah selesai, Hakim Ketua Sidang menyatakan pemeriksaan
ditutup, dengan catatan bahwa dapat dibuka sekali lagi baik karena
kewenangan Hakim Ketua Sidang ataupun atas permintaan Penuntut Umum
ataupun Terdakwa dan atau Penasihat Hukumnya. Setelah ditutupnya proses
pemeriksaan, Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk mengambil
keputusannya. Musyawarah Majelis Hakim ini dilakukan secara tertutup.
Untuk dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, hakim harus mendasarkan
keyakinannya tersebut pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
yang sebelumnya telah diajukan kemuka persidangan dalam proses
pembuktian (184 KUHP), juga atas keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.
Putusan
dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan harus dihadiri oleh
Terdakwa. Putusan dapat berupa penghukuman, yaitu apabila Majelis
berpendapat terdakwa terbukti bersalah, putusan bebas (terdakwa tidak
terbukti bersalah), atau putusan lepas dari segala tuntutan (perbuatan
yang didakwakan terbukti namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak
pidana).
Pada
Putusan akhir ini juga dibacakan juga Putusan Sela (bila ada) apabila
ternyata Eksepsi Terdakwa beralasan dan Hakim dapat menyatakan
mengabulkan permohonan eksepsi Terdakwa (Dakwaan Tidak Dapat Diterima
atau N.O (Niet ontvankelijk verklaard)
7. Upaya Hukum
Atas
putusan pengadilan, Terdakwa maupun JPU dapat mengajukan Banding ke
Pengadilan Tinggi dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan
tersebut dijatuhkan. Permohonan Banding disampaikan melalui Pengadilan
Negeri yang memutus perkara tersebut.
Putusan
yang membebaskan terdakwa tidak dapat diajukan Banding oleh JPU, namun
JPU dapat membuktikan bahwa putusan bebas tersebut bukan merupakan
putusan bebas murni.
Jika
Terdakwa maupun JPU tidak mengajukan upaya hukum Banding dalam jangka
waktu 7 hari maka Putusan akan berkekuatan hukum tetap. Eksekusi atas
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dilaksanakan oleh
Jaksa.
Bentuk upaya hukum ada 2, yaitu Upaya Hukum Biasa (Perlawanan (verzet), Banding, dan Kasasi) dan Upaya Hukum Luar Biasa