Menurut pasal 1320 KHUPer, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- cakap untuk membuat suatu pejanjian;
- mengenai suatu hal tertentu;
- sesuatu sebab yang halal;
Dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif, karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.
Sepakat mereka yang mengikat Dirinya
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat,
setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok
dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik, misalnya penjual mengingini sejumlah uang, sedang
pembeli mengingini sesuatu barang dari si penjual.
Cakap Untuk Membuat Suantu Perjanjian
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya,
setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya,
adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 KUHPer, disebut sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
- Orang-orang yang belum dewasa;
- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
- Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UU dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu
Dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu
perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai
cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang
dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban
hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti
mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang
sungguh-sungguh bebas berbuah dengan harta kekayaannya.
Menurut KUHPer, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu
perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya
(pasal 108 KUHPer). Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa
yang harus diwakili oleh orang/wali, adalah dengan diwakili, seorang
anak tidak membikin perjanjian itu sendiri tetapi yang tampil ke depan
wakilnya. Tetapi seorang istri harus dibantu, berarti ia bertindak
sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya. Bantuan
tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.
Mengenai Suatu Hal Tertentu
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban
kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.
Suatu Sebab Yamg Halal
Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah adanya suatu sebab
yang halal. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu
perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri, tidak boleh mengenai
sesuatu yang terlarang. Misalnya, dalam perjanjian jual beli dinyatakan
bahwa si penjual hanya bersedia menjual pisaunya, kalau si pembeli
membunuh orang, maka isi perjanjian itu menjadi sesuatu yang terlarang.
Berbeda halnya jika seseorang membeli pisau ditoko dengan maksud untuk
membunuh orang dengan pisau tadi, jual beli pisau tersebut mempunyai
suatu sebab atau causa yang halal, seperti jual beli barang-barang lain.
Apabila syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian itu batal demi hukum.
Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan
demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam
bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi
hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu,
adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
(perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat selama tidak dibatalkan
(oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.
Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti
dan tergantung pada kesediaan suatu pihak yang mentaatinya. Perjanjian
yang demikian dinamakan voidable. Ia selalu diancam dengan bahaya pembatalan (canceling).
Yang dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak belum dewasa adalah
anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/walinya. Dalam
hal seorang yang berada di bawah pengampuan, pengampunya. Dalam hal
seorang yang telah memberikan sepakat atau perizinannya secara tidak
bebas, orang itu sendiri. Bahaya pembatalan itu berlaku selama 5 tahun
menurut pasal 1454 KUHPer.
Bahaya pembatalan yang mengancam itu dapat dihilangkan dengan penguatan (affirmation)
oleh orang tua, wali atau pengampu tersebut. Penguatan yang demikian
itu, dapat terjadi secara tegas, misalnya orang tua, wali atau pengampu
itu menyatakan dengan tegas mengakui atau akan mentaati perjanjian yang
telah diadakan oleh anak yang belum dewasa ataupun dapat terjadi secara
diam-diam, misalnya orang tua, wali atau pengampu itu membayar atau
memenuhi perjanjian yang telah diadakan oleh anak itu. Ataupun orang
yang dalam suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak
bebas, dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara
tegas maupun secara diam-diam.