Manusia dalam perjalanan hidupnya
mengalami tiga peristiwa yang penting; waktu dilahirkan, waktu kawin,
waktu dia meninggal dunia. Pada saat orang dilahirkan tumbuhlah tugas
baru dalam kehidupan (keluarganya). Demikianlah di dalam artian
sosiologis, ia menjadi pengembangan hak dan kewajiban. Kemudian setelah
dewasa setelah dewasa, ia akan melangsungkan perkawinan yang bertemu
dengan lawan jenisnnya untuk membangun dan menuanaikan dharma bhaktinya
yaitu kelangsungan keturunan. Selanjutnya, manusia pada akhirnya akan
mengalami kematian meninggalkan dunia fana ini. Timbulah persoalan
setelah orang meniggal dunia, apakah yang terjadi dengan segala
sesuatunya yang ditinggalkan .
Hukum
waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan
masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata (KUHPerdata) buku kedua
tentang kebendaan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua
tentang kewarisan.
Pada
prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan
harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari
seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli
warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya prose serta langkah-langkah
pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah,
hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahn lainnya . Disini penulis
akan sedikit memaparkan bagaimana hukum kewarisan dalam persfektif hukum
perdata (BW) dan kompilasi hukum Islam (KHI).
Definisi Hukum Kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) dan KHI
1. Definisi Hukum Waris menurut hukum perdata
Hukum
waris (erfecht) ialah hukum yang mengatur kedudukan antara kekayaan
seseorang apabila orang tersebut meninggal dunia. Prof. Wirjono
Prododikoro menuturkan bahwa hukum waris sebagai soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seorang ketika meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih
hidup. Dalam kata lain hukum waris dapat dirumuskan sebagai salah satu
peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari
pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang ditunjuk .
Menurut
A. Pitlo, hukum waris adalah kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur
hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan
antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan
pihak ketiga .
Mr. Dr. H.D.M.
Knol dalam bukunya BEGINSELEN VAN HETPRIVAATRECHT, menyebutkan hukum
waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpiandahan harta
peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris
atau lebih .
Dari beberapa
pengertian di atas bahwa hukum waris merupakan seperangkat hukum yang
mengatur perpindahan atau beralihnya harta kekayaan yang ditinggalkan
dari pewaris ke ahli waris karena kematian baik memiliki hubungan antar
mereka maupun pihak lain.
2. Definisi Hukum Kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam
persfektif Islam para ulama menyebutkan ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan berupa harta (uang), tanah, ataupun
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i .
Sedangkan
Hukum kewarisan menurut KHI sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 poin a
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing .
Hukum Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW)
Pada
dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli
warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh
karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi beberapa
unsur-unsur persyaratan yang harus dipenuhi :
- Ada seseorang yang meninggal dunia atau pewaris (erflater).
- Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat meninggal dunia atau ahli waris (erfgenaam).
- Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan atau harta warisan (nalatenschap).
Dalam
hukum waris menurut BW. berlaku suatu asas bahwa “ apabila seseorang
meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya
beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban tersebut
sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak
dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang . sebagaimana tertera dalam
pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena
kematian. Maksudnya, bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh
hak dan kewajibannya beralih/berpindah kepada ahli warisnnya.
Selanjutnya tercantum dalam pasal 833 KUHPerdata yaitu, sekalian ahli
waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala
barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal .
Asas
tersebut dia atas tadi tercantum pada suatu pepatah Prancis yang
berbunyi, “le mort saisit le vif”, sedangkan pengoperan segala hak dan
kewajiban dari pewaris (yang meninggal) oleh para ahli waris itu
dinamakan saisine .
a. Kewarisan dalam sistem hukum waris BW.
Sistem
hukum ini meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
dapat dinilai dengan uang. akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada
bebrapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum
harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris ,
yaitu:
a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik).
b. Perjanjian pemburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi.
c.
Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW
maupun Firma menurut WVK, sebab perkongsian ini berakhir dengan
meninggalnya salah seorang anggota persero.
Ada
beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum
keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak
tersebut, yaitu:
a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak.
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Berdasarkan
pasal 528 KUHPerdata, hak waris diidentikan dengan hak kebendaan,
sedangkan ketentuan pasal 584 KUHPerdata menyebutkan hak waris sebagai
salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya dalam BW,
penempatannya dimasukan dalam buku II BW tentang Benda (pasal 830 s/d
1130) .
Sistem waris BW tidak
mengenal istilah “harta asal maupun harta gonogini” atau harta yang
diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari
siapa pun juga, merupakan kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam
keseluruhan akan beralih tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli
warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas
dasar macam atau asla barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti
yang ditegaskan dalam pasal 849 BWyaitu, undang-undang tidak memandang
sifat atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur
pewarisan terhadapnya. Sistem hukum BW menyebutkan harta asal yang
dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama
perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan yang bulat yang akan
beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.
b. Pewaris dan dasar hukum mewarisi
Pewaris
adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan
yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh
beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Dasar hukum
seseorang ahli mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum
waris BW ada dua cara, yaitu:
- Menurut ketentuan undang-undang.
- Ditunjuk dalam surat wasiat.
Undang-undang
telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang
meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang
meninggal itu. Undang-undang memiliki prinsip seseorang bebas untuk
menentukan kehendaknya tentang harta kekayaan setelah meninggal dunia.
Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia
hidup tentang apa yang terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal
demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta
kekayaan seseorang tersebut.
Selain
undang-undang dasar lainnya yaitu dalam bentuk surat wasiat. Surat
wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan tentang apa yang
dikehendaki oleh si pewaris. Surat wasiat berlaku setelah pembuat wasiat
meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat
wasiat masih hidup, surat tersebut dapat diubah dan dicabut. seseorang
dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat.
apabila seseorang hanya menetapkan sebagian melalui surat wasiat, selain
itu merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang .Wasiat ini
sebagaimana tercantum dalam BW pasal 874, 875,879, 880, 890, 893, 894,
895, 897, 930, 944, 946, 947, 950, 951, 954, 988, yang mana didalamnya
mengatur tentang pembahasan wasiat.
c. Ahli waris dan bagian masing-masing menurut BW.
Ahli waris ialah orang-orang tertentu, yang secara limitative diatur dalam BW, yang menerima harta peninggalan , yaitu:
1.
Ahli waris yang mewarisi berdasarkan kedudukan sendiri atau mewarisi
secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia, maka sekalian
anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. cara ini dikenal dengan
pewarisan ab instestato, yaitu perolehan warisan berdasarkan adanya
hubungan darah atau disebut pula pewarisan undang-undang, yang mana
undang-undang dengan sendirinya menjadi ahli waris. Yang termasuk dalam
ab instetato terdapat empat golongan dalam penentuan siapa saja yang
berhak mewarisi ini berlaku asas keutamaan golongan, maksudnya apabila
golongan teratas tidak ada, maka yang berhak mewarisi adalah golongan di
bawah berikutnya, antara lain:
- Golongan I : yaitu suami/isteri yang masih hidup, dan sekalian anak beserta keturunnya dalam garis lurus kebawah.
- Golongan II : yaitu orang tua dan saudara-saudara pewaris. Pada asasnya bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan.
- Golongan III : Yaitu kakek-nenek yang mana terdapat asas kloving, yaitu harta peninggalan harus dibagi dua, setengah untuk kakek nenen pihak ayah, setengah bagian lain untuk kakek nenek pihak ibu. Hal ini tidak terdapat golongan I dan II (pasal 853 dan 854).
- Golongan IV : Yaitu sanak saudara dalam garis ke samping dan sanak saudara lainnya samapai derajat keenam.
2. Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung.
3.
Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan,
yaitu dalam hal adanya suatu wasiat yang dibuat oleh pewaris, yang
menetapkan bagian tertentu harta peninggalannya diwariskan kepada orang
yang bukan ahli waris sebenarnya. pihak ketiga ini bisa pribadi ataupun
badan hukum. Cara pewarisan ini dikenal sebagai cara pewarisan
testamentaire. Pihak ketiga yang menerima warisan ini disebut legataris
sedangakan harta peninggalan tersebut disebut legaat.
Seorang Ahli waris diberi hak
untuk berfikir selam empat bulan (pasal 1024 BW) setelah itu harus
menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin
saja menarima warisan dengan syarat yang dinamakan menerima warisan
secara benefisiaire yang merupakan jalan tengah antara menerima atau
menolaknya. Setelah jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang
berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan,
yaitu:
- Menerima warisan dengan penuh.
- Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa dia tidak akan diwajibkan menbayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan istilah menerima warisan secara beneficiere.
- Menolak warisan. Akibat menolak warisan ialah dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh anaknya-anaknya yang masih hidup.
Telah dikemukakan sebelumnya di
dalamBW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas
harta peninggalan. Maksudnya, apabila golongan pertama masih ada, maka
golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan,
demikian pula apabila golongan pertama tidak ada sama sekali, yang
berhak hanya golongan kedua., sedangkan yang lain tidak berhak sama
sekali. Berikut bagian masing-masing golongan :
a. Golongan I, bagiannya ditetapkan dalam pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
b. Golongan II, bagiannya ditetapkan dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c. Golongan III, bagiannya ditetapkan dalam pasal 853, 858, 859 KUHPerdata
d. Golongan IV, bagiannya ditetapkan dalam pasal 858 ayat 2, 861, 832 ayat 2, 862, 863, 864, 865, 866 KUHPerdata.
Ada pihak yang tersangkut dalam warisan yaitu pihak ketiga, yang dalam BW dikenal adanya:
- Fidei Commis ialah suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah lewatnya suatu waktu warisan itu harus diserahkan kepada orang lain, yang sudah ditetapkan dalam testament.
- Executer Testamentaire ialah pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak pewaris.
- Bewindvoerder ialah orang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus harta peninggalan sehinggga ahli waris/legataris hanya menerima penghasilan dari harta peninggalan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar harta peninggalan tersebut tidak dihabiskan secara singkat oleh ahli waris/legataris.
d. Peran balai harta peninggalan
Apabila
harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli waris yang
tampil ke muka sebagai ahli waris, tidak seseorang pun yang menolak
warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak
terurus. Dalam keadaan seperti ini tanpa menunggu perintah hakim, Balai
Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan
pengurus itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. jika
terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak
terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Dalam tugasnya Balai Harta Peninggalan memiliki kewajiban-kewajiaban dalam mengurusi harta warisan yang tak terurus:
- Wajib membuat perincian inventaris tentang kedaan harta peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang.
- Wajib membereskan warisan, dalam arti menagih hutang piutang pewaris dan membayar semua hutang pewaris. Apabila diminta oleh pihak yang berwajib, balai Harta Peninggalan jugawajibkan memeberikan pertanggung jawabkan.
- Wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau paggilan resmi lainnya.
Jika dalam jangka waktu tiga
tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris
yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan
pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada Negara. Selanjutnya harta
peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik Negara.
e. Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan
- Seorang ahli waris membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh.
- Seorang ahli waris memfitnah.
- Ahli waris yang dengan kekerasan mencegah atau menghalangi pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
- Seoarang ahli waris menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hulum Islam (KHI).
Hukum
kewarisan menurut KHI menganut salah satu asas bilateral, yakni seorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari
garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini
secara tegas tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176.
Hukum
kewarisan baru terjadi apabila memenuhi beberapa unsur yang harus
dipenuhi, yakni: Pertama, pewaris yaitu orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggla berdasarkan putusan
Peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Kedua, ahli waris yaitu orang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewarsi, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ketiga, harta
peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Dasar
hukum kewarisan dalam disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 7-14, 33, 34
dan 176, surat al-Baqarah ayat 233, dan surat al-Ahzab ayat 6. Ahli
waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas
atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru
lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
Ahli waris memiliki kewajiban setalh pewaris meninggal sebelum harta dibagikan antara lain:
- Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
- Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang.
- Menyelesaikan wasiat pewaris.
- Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Hal di atas sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 175.
Hal-hal yang menjadi penyebab terhalangnya menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim.
- Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Ahli waris dan bagian masing-masing.
Pembagian ahli waris yang terdiri dari beberapa pengelompokan, yaitu:
- Berdasarkan hubungan darah. terdiri dari dua golongan, Pertama, golongan laki-laki: ayah, anak laki-laki, paman, dan kakek. Kedua, golongan perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
- Berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Bagian-bagian
harta warisan sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 176-182
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak
ibunya (pasal 186 KHI).
Wasiat di
Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan wasiat pada hukum perdata BW.
Disini wasiat diberikan kepada selain ahli waris seperti anak asuh dan
apabila ahli waris dapat diberikan wasiat apabila disetujui oleh semua
ahli waris, sebagaimana terteradalam pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Ketentuan peraturan tentang wasiat dalam KHI dapat dilihat
pada pasal 194-210 KHI Buku II tentang kewarisan.
Dalam hukum waris menurut BW. berlaku
suatu asas bahwa “ apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu
juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.
Hak-hak dan kewajiban tersebut sepanjang termasuk dalam lapangan hukum
harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang.
Sebagaimana tertera dalam
pasal 830 KUHPerdata yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian.
Maksudnya, bahwa jika seorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan
kewajibannya beralih/berpindah kepada ahli warisnnya. Selanjutnya
tercantum dalam pasal 833 KUHPerdata yaitu, sekalian ahli waris dengan
sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala
hak dan segala piutang si yang meninggal. Dasar hukum seseorang ahli
mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua
cara, yaitu:
- Menurut ketentuan undang-undang.
- Ditunjuk dalam surat wasiat.
Hukum
kewarisan menurut KHI menganut salah satu asas bilateral, yakni seorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari
garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini
secara tegas tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176.
Wasiat
di Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan wasiat pada hukum perdata BW.
Disini wasiat diberikan kepada selain ahli waris seperti anak asuh dan
apabila ahli waris dapat diberikan wasiat apabila disetujui oleh semua
ahli waris, sebagaimana terteradalam pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
DAFTAR PUSTAKA
Suparman, Eman, Dr., S.H., M.H., Hukum
Waris Indonesia “Dalam Persfektif Islam, Adat, dan BW. Cet. 2. Bandung:
PT. Refika Aditama. 2007.
Prof. Ali Afandi, S.H., Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Cet. 4. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000.
Drs. Sudarsono, S.H., Hukum waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1991.
Kama Rusdiana, MH., jaenal Arifin, MA., Perbandingan Hukum Perdata. Cet. 1. Jakarta. UIN Jakarta Press. 2007.
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. 31. Jakarta: Intermasa. 2003.
Soimin, Soedharyo, S.H., Hukum Orang dan Keluarga. Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Himpuanan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam. Cet. 2. Jakarta: Fokus Media. 2007.