Perbuatan Pidana
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dikenai tuntutan
pidana oleh negara. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
dalam perundang-undangan dan diancam dengan pidana, disebut juga “delik”. Dalam bahasa perundang-undangan dikenal dengan istilah “tindak pidana”.
Bukan hanya korban yang berhak menuntut haknya, bahkan setiap orang yang
mengetahui adanya dugaan telah terjadi perbuatanpidana wajib melaporkan
pada penegak hukum. Penegak hukum adalah hakim, jaksa, polisi, dan
advokat.
Dalam hukum pidana, orang yang diduga melakukan perbuatan pidana
berhadapan dengan negara. Dalam persidangan, yang melakukan penuntutan
adalah negara yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
Jadi jelas bila kita bicara penyelesaian secara pidana maka tujuannya adalah pemidanaan si pelaku (teori klasik) dan melindungi masyarakat dari kejahatan (teori modern). Delik (perbuatan pidana) dibedakan menjadi 2, yaitu delik umum dan delik aduan.
Delik umum adalah delik yang harus diproses tanpa adanya laporan
ataupun pengaduan, misal pembunuhan. Pihak penyidik harus aktif dan
berinisiatif dalam menyidik kasus delik umum. Dalam kasus delik umum,
upaya perdamaian antara pelaku dan korban ataupun upaya-upaya
non-litigasi lainnya tidak dapat menghentikan proses pidana.
Delik aduan adalah delik yang dipersyaratkan adanya aduan
terlebih dahulu sebelum dilakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan
menjadi 3, yaitu delik aduan biasa (misal pemerasan dengan pencemaran, pasal 369 KUHP), delik aduan absolut
(misal zina), dan delik aduan relatif (misal penggelapan oleh anggota
keluarga, pasal 372 KUHP). Delik aduan relatif adalah delik umum
tertentu yang pelakunya adalah anggota keluarga, maka menjadi delik
aduan. Aduan bisa ditarik kembali. Dalam kasus delik aduan dimungkinkan
upaya perdamaian.
Sengketa Perdata
Sengketa perdata timbul manakala ada salah satu pihak yang merasa
dirugikan karena perbuatan pihak yang lain. Dengan berdasar pada pasal
1365 KUHPerdata, pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat menuntut
ganti kerugian. Ganti kerugian dapat diusahakan melalui gugatan perdata.
Jadi jelas bahwa bila kita bicara penyelesaian sengketa secara perdata
maka tujuannya adalah ganti kerugian.
Gugatan perdata ada 2 (dua) macam, yaitu gugatan atas terjadinya perbuatan melawan hukum dan gugatan atas terjadinya wanprestasi.
Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum (onrechtrnatige daad) adalah setiap
perbuatan (melakukan sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu) yang melanggar hak subjektif orang lain, bertentangan dengan
kewajiban hukum, bertentangan dengan tata susila atau bertentangan
dengan kepatutan ketelitian yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang
lain. Orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian
bagi orang lain sebagai akibat dari perbuatannya wajib membayar ganti
rugi.
Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka
debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak
memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak
dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi
yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak
berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan
wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang
berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya
ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur
dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan
apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan
seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan
tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan
tersebut disebut dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur
yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi
seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam
pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis
itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan
wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun
bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk
penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara
lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal
ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang
melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut
berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara
tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa
seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu
dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa
tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak
hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau
kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden),
tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan
yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga
dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan
sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan
dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang
sebab-akibat yaitu:[8]
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B
(peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada
pristiwa A
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B
(peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang
normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated
Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang
selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping
itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi
bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya
debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena
keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau
telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya
perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana
debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko
serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:
a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c) Resiko tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.