Anak adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua,
utamanya adalah ayah dan ibu, Namun demikian, tujuan tersebut terkadang
tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup,
tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh
keturunan. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat
anak.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama,
pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab
sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap
orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas.
yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan
hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya
terbatas pada Hubungan Sosial saja.
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum perdata yang berlaku dalam mengatur
permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah
Hukum Perdata Islam, Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata Barat
(Muderis Zaini,2006:31). Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Adat
tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara
Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia.
Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak
biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social
engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata
sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan kedua
sebagai nilai komunitas masyarakat.
Sementara yang kedua, hukum lebih
merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan
sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan
politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut
akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip
dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan
mengalami kemandulan fungsi bagi kepentingan umat.
Karena itu apabila
para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk
mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam
masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan
kehilangan aktualitasnya.
Menurut Cik Hasan Bisri, tema utama KHI ialah
mempositifkan hukum Islam di Indonesia yaitu dengan melengkapi pilar
peradilan agama, menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses
Taqribi Bainal Ummah dan menyingkirkan paham private affairs. (Cik
Hasan Bisri, 2000 :27)
Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwa
pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang
berbeda-beda sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup
serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam Kompilasi Hukum
Islam, Disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud
bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang
tua kandung.
Sedang pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan
tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti
di Jawa khususnya. Menurut istilah kepercayaan tersebut, dengan
mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri.
Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak
yang menjadi yatim piatu, kekurangan yang tak kunjung henti-henti
sehingga menjadi terlantar atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya
yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian
berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta
warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asli (kandung).
Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat
dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh
makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang kian
marak dilakukan dengan berbagai keinginan. karena keberadaannya, baik
secara Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun Kompilasi Hukum Islam
(KHI) memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari
orang tua angkat.
Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
Menurut Rachmadi Usman (2009:01), Dalam istilah bahasa arab hukum
kewarisan disebut Fara’id, yang kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum
belum terdapat keseragaman istilah yang digunakan dan sementara terdapat
beberapa istilah seperti hukum warisan, hukum waris, hukum kewarisan,
hukum mawaris, hukum fara’id, dan lain-lain. Namun demikian dari segi
kebahasaan, istilah yang sesuai untuk penyebutan “Hukum fara’id”
tersebut adalah “Hukum kewarisan”, yang juga dipergunakan dalam
undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan kompilasi hukum
islam.
Menurut istilah bahasa fara’id juga bisa mempunyai arti taqdir (qadar
atau ketentuan) dan pada syari’ah ialah bagian yang diqadarkan atau yang
ditentukan bagi waris. Adapun asal kalimat fara’id adalah jama’ dari
faridlah yang mempunyai arti satu bagian tertentu, jadi fara’id berarti
beberapa bagian tertentu. Dengan demikian fara’id dapat diartikan dengan
bagian tertentu (yang besar kecilnya sudah ditentukan) yang menjadi hak
ahli waris.
Sumber hukum Kewarisan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat Al-Qur’an, bahwa pada
prinsipnya hukum Islam bersumber pada penetapan Allah (berupa hukum
Allah yang tercantum dalam ayat suci al-qur’an dan kitab-kitab suci yang
terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, dan Rasul Allah), penetapan
Rasul Allah (Berupa hukum Rasul baik dalam bentuk Hadits maupun Sunnah)
dan penetapan ulil amri (berupa Hukum Negara –dengan cara “berijtihad” ,
dalam artian mempergunakan “Logika” untuk menetapkan sesuatu hukum yang
didasarkan pada hukum Allah dan hukum Rasul).
Sumber hukum Islam tersebut satu sama lain berfungsi untuk saling
“memperjelas” dan “memperkuat”. Hukum Negara akan berlaku di samping
hukum Allah dan hukum rasul, jika tidak bertentangan atau berlawanan
dengan hukum Allah dan hukum rasul, sebab penetapan hukum Negara digali
dan didasarkan kepada dua sumber hukum Islam yang paling Asasi nilai
kebenarannya dan dapat dipertanggung jawabkan keotentikannya, yang
langsung atau tidak langsung telah “diperintahkan” atau “diwahyukan”
oleh Allah melalui Rasul-Nya. walaupun itu asalnya hanya perbuatan atau
perkataan Rasul sendiri, yang kemudian dibenarkan oleh Allah dengan
tanpa mengadakan koreksi untuk membatalkannya atau menetapkan hukum
(Syara’) yang lain.
Adapun hukum yang ditemukan melalui hasil Ijtihad ini disebut Fiqih.
Fiqih merupakan himpunan undang-undang dan pembahasan yang menyampaikan
kepada semua orang untuk mempergunakan syari’at amalia yang menunjukkan
secara terperinci. Jadi dalam fiqih terkandung hukum-hukum yang
terperinci yang merupakan pengembangan dan perluasan dasar-dasar hukum
yang telah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena cara yang
dipakai mujtahid dalam usaha pengendalian hukum tidak sama dan kemampuan
akalnya pun berbeda, maka terdapatlah hasil Ijtihad (fiqih) yang
berbeda-beda. Setiap hasil ijtihad yang telah ditemukan oleh mujtahid
terdahulu menjadi pedoman yang tidak mengikat bagi mujtahid yang datang
kemudian dalam usahanya menggali hukum pada situasi dan tempat tertentu.
Adapun Hadits Rasul yang berhubungan dengan hukum kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas, riwayat bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak.
Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
Menurut Idris Djakfar dalam bukunya Rachmadi Usman (2009 : 26), Adapun
sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
Tersebut, dikeluarkan keputusan menteri agama Nomor 154 Tahun 1991, yang
berisikan antara lain agar seluruh lingkungan Instansi Departemen Agama
dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait, dalam menyelesaikan
masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwaqafan,
sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping
peraturan perundang-undangan lainnya.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Kompilasi hukum Islam bukanlah sekedar “Pedoman” bagi hakim
dilingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara dan
permohonan- permohonan yang diajukan kepadanya, melainkan sumber hukum
materil yang harus dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus dan
menyelasaikan permasalahan- permasalahan yang terdapat dalam perkawinan,
kewarisan dan perwaqafan bagi mereka yang beragama Islam, disamping
peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perkawinan,
kewarisan dan perwaqafan.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan (2009 : 261),
Indonesia merupakan salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus
sebagai Negara Hukum, yang mayoritas penduduknya memeluk agama
Islam,bahkan terdapat lembaga peradilan agama yang berasas personalitas
keislaman yang keberadaannya sama dengan persoalan lainnya yang
berpuncak pada mahkamah agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi di
indonesia. Salah satu hukum materiil peradilan agama di indonesia yang
di jadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum Islam,
walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden Republik Indonesia
nomor 1 tahun 1991, sedangkan salah satu materi Kompilasi Hukum Islam
adalah pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat pasal 209 KHI, hal
ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam yang tidak di temukan
dalam kitab- kitab klasik bahkan undang- undang mesir dan siria pun
tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat. Pasal 209 KHI tidak
mungkin tanpa dasar hukum baik melalui istimbat atau istidlal hal ini
karena keduanya merupakan metode ijtihad yang tidak boleh di tinggalkan
dalam penemuan hukum Islam, terutama hal- hal yang tidak di atur secara
jelas dalam nas syara’.
Dengan demikian penulis akan menelaah pasal 209 KHI melalui pendekatan
pemahaman petunjuk al- Baqarah ayat 180 sehingga gerak pasal tersebut
tetap berpijak pada nas syara’ walaupun tidak menafikan metode nas lain.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :
“Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Sedangkan dalam Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا
الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِينَ
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara ma'ruf, kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa".
Kata wasiat secara bahasa bermakna suatu bentuk perjanjian yang di buat
oleh seseorang agar melakukan sebuah perbuatan, baik orang tersebut
masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Sedangkan secara istilah (
terminologi) para ulama’ mengartikan bahwa wasiat adalah perbuatan yang
berupa pemberian milik dari seseorang kepada yang lain yang
pelaksanaannya setelah meninggalnya pemberi wasiat baik berupa benda
atau berupa manfaat dari benda, dengan jalan tabarru’ ( sedekah).
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Hukum Perdata (BW)
Berdasarkan ketentuan dalam Staats Blad 1917 laki-laki yang beristri dan
tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, sedangkan
yang dapat diangkat sebagai anak hanya anak laki-laki yang belum kawin
dan yang belum diambil oleh orang lain sebagai anak angkat. Anak angkat
tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga dari keturunan oranng tua
angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung
dari orang tua angkatnya serta terputuslah hubugan hukum antara anak
angkat dengan orang tua kandungnya.
Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan
yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu
dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan
kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917
No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan
perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga
terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan
dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah
yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
- Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
- Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
- Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Menurut pasal 830 BW (KUHP) yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena
kematian, dengan demikian warisan itu baru terbuka kalau si peninggal
waris sudah meninggal dunia. Jadi dalam hal ini harus ada orang yang
meninggal dunia sebagai peninggal warisan dan ahli waris yang masih
hidup sebagai penerima warisan dan juga harta warisan yang akan di
bagikan kepada ahli waris.
Cara memperoleh warisan menurut hukum Perdata ada dua macam, yaitu :
- Sebagai ahli waris menurut undang-undang atau abintestato
- Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Dalam pasal 832 KUHP ditetapkan bahwa, yang berhak untuk menjadi ahli
waris adalah keluarga sedarah dan yang mempunyai hubungan perkawinan
(suami-istri) dengan pewaris. Mereka itu seperti anak atau keturunannya,
bapak, ibu, kakek, nenek serta leluhurnya ke atas, saudara atau
keturunannya serta suami atau istri.
Undang-undang membagi ahli waris pada kelompok ini menjadi 4 (empat)
golongan yaitu: golongan kesatu, kedua, ketiga dan keempat. Mereka
diklasifikasikan sebagai berikut:
Golongan kesatu diatur dalam pasal 852, 852a, KUHP terdiri dari:
- Anak atau keturunannya
- Suami atau istri
Golongan kedua diatur dalam pasal 854, 856, 857 KUHP terdiri dari:
- Orang tua, yaitu bapak atau ibu
- Saudara-saudara atau keturunannya
Golongan ketiga diatur dalam pasal 853, KUHP terdiri dari:
- Kakek atau nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas
- Kakek atau nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
Golongan keempat terdiri dari keluarga sedarah lainnya dalam garis
menyamping sampai derajat ke 6 (enam) dari pasal 856, 861 KUHP.
Keempat golongan tersebut di atas sekaligus merupakan urutan
penerimaannya. Jika golongan pertama ada, maka golongan kedua, ketiga
dan keempat tidak dapat bagian warisan. Tetapi jika golongan pertama
tidak ada maka yang mendapatkan yaitu golongan kedua. Begitu juga
seterusnya.
Kalau semua golongan tersebut di atas tidak ada, menurut pasal 832 BW
maka segala harta peninggalan menjadi milik Negara dan Negara wajib
melunasi hutang pewaris dengan sekedar harta peninggalan yang mencukupi
untuk itu.
Jadi, jika seandainya semua ahli waris yang telah ditentukan oleh
undang-undang, misalnya; anak, istri, suami, bapak, ibu, saudara, kakek,
nenek, maka warisan akan jatuh kepada anak atau suami istri sebagai
golongan pertama. Sedangkan yang lainnya tidak dapat. Begitu juga, kalau
ahli waris terdiri dari istri, ibu, bapak dan saudara, maka harta
warisan akan jatuh hanya kepada istrinya saja sedangkan bapak dan ibu
serta saudara tidak mendapat bagian, dan begitu seterusnya menurut
urutan golongan tersebut di atas.
Tentang ahli waris yang dinyatakan tidak patut, tidak pantas menerima
wasiat (Onwardig) atau menerima warisan diatur dalam pasal 838, 839 dan
840 BW bagi ahli waris menurut undang-undang dan pasal 912 BW bagi ahli
waris menurut wasiat.
Ahli waris yang tidak patut menurut pasal 838 BW:
- Mereka yang telah di hukum karena di permasalahan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
- Mereka yang dengan putusan hakim telah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman penjara 5 tahun lamanya atau lebih berat
- Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
- Mereka yang telah menggelapkan, merusak , memalsukan surat wasiat si pewaris
- Sedangkan ahli waris yang menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut menurut pasal 912 BW adalah:
- Mereka yang telah di hukum karena membunuh si pewaris
- Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris
- Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiat.
Adapun yang menjadi acuan dalam hukum kewarisan menurut hukum perdata (BW), yaitu pasal 1066 BW yang berbunyi:
- Dalam hal seseorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seseorang itu tidak di paksa membiarkan harta benda itu tetap tidak dibagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.
- Pembagian harta ini selalu dapat di tuntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.
- Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.
- Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi kalau tenggang waktu lima tahun itu telah berlalu.
Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan warga Negara di Indonesia
ada penentuan pokok, bahwa segala harta warisan pada umumnya mungkin
dibagi-bagi hanya dapat terjadi dengan persetujuan bulat dari para yang
berhak atas warisan itu.
Dari uraian tersebut diatas, maka hukum waris (yang merupakan bagian
dari hukum Perdata) yang berlaku di Indonesia adalah bermacam-macam yang
dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
Diatur dalam BW (KUH Perdata) untuk golongan Eropa dan Tionghoa
- Hukum-hukum waris dari golongan Timur Asing selain Tionghoa, termasuk di sini bangsa-bangsa yang kebanyakan beragama Islam, seperti Arab, Persia, Pakistan dan sebagainya
- Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
- Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
Hak waris anak angkat (adopsi), diatur dalam hukum adat. Di Indonesia
ini sebenarnya, hukum adat banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam.
Tetapi, kita masih bisa menemukan di Indonesia ini, anak adopsi yang
statusnya disamakan dengan anak sendiri di daerah-daerah tertentu,
seperti di Sumatera, Bali dan di tempat lainnya. Kita menyadari, karena
di Indonesia ini masalah hukum masih memakai produk hukum Belanda dan
mempunyai masyarakat yang agamanya berbeda-beda. Maka, walaupun hukum
Islam (syari’at Islam melarang adopsi) tetap tidak bisa menghilangkan
seluruhnya Karena masyarakatnya majemuk dan berbeda-beda.
Persamaan Dan Perbedaan Hak Waris Angkat (Adopsi) Terhadap Harta Warisan
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Hukum Perdata (BW)
a. Persamaan
- Hukum Islam dan hukum Perdata sama-sama mengakui adanya pengangkatan anak tetapi dengan tujuan yang berbeda.
- Antara hukum Islam dan hukum Perdata memiliki kesamaan dalam pemeliharaan anak angkat.
- Kesamaan dalam tanggungjawab biaya pendidikan terhadap anak angkat tersebut.
- Orang tua angkat berhak memberikan kasih sayang pada anak angkatnya seperti memberikan kasih sayang pada anak kandungnya.
Waktu diadakan wawancara dengan kalangan Ulama’ di seluruh Indonesia
pada saat pengumpulan bahan-bahan Kompilasi Hukum Islam, tidak seorang
ulama’ pun yang dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli
waris, barangkali peristiwa Zaid bin Haritsah sangat mendalam terkesan
dalam ingatan dan penghayatan para ulam’.
Bertitik tolak dari sikap reaktif para ulam’ tersebut, perumus Kompilasi
Hukum Islam tidak perlu melangkah membelakangi Ijma’ Ulama’. Karena
itu, meskipun Hukum Adat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan
status anak kandung Kompilasi Hukum Islam tidak mengadaptasi dan
mengompromikannya menjadi nilai Hukum Islam. Hal itu dapat dibaca dalam
pasal 171 huruf h dan pasal 209:
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan. Keabsahan statusnya pun harus berdasarkan keputusan pengadilan.
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. (Cik
Hasan Bisri,2001:67)
Sedangkan dalam Hukum Perdata yang termuat dalam Staats Blad tahun 1917
No. 129 menyebabkan anak yang diangkat disamakan dengan anak kandung
sendiri. Dengan demikian, jelas anak angkat bisa menduduki atau
mendapatkan harta dari peninggalan orang tua angkatnya.
b. Perbedaan
1. Kompilasi Hukum Islam
- Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung
- Anak angkat tetap berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua kandung dan terhadap orang tua angkat diberi wasiat wajibah dari harta peninggalan anak angkat
- Orang tua angkat tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan anak angkatnya
- Dalam Hukum Islam anak angkat atau orang tua angkat memperoleh harta warisan dengan jalan wasiat yaitu wasiat wajibah yang besarnya 1/3 dari harta warisan anak atau orang tua angkatnya.(Kompilsi Hukum Islam, 2009: 261)
2. Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129
- Anak angkat putus hubungan perdata dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat
- Anak angkat berkedudukan sebagai pewaris penuh orang tua angkat dan terhadap orang tua kandung tidak lagi mendapatkan warisan sebagaimana ketentuan Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129 pasal 14 yang menyatakan bahwa: “Karena berlangsungnya suatu pengangkatan, terputuslah segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran antara anak yang diangkat dengan kedudukan orang tuanya dan keluarga kandung dan semua keluarganya yang sedarah”.
Analisis penyusun, yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Staats Blad (BW) tahun1917 No. 129
ini karena ajaran Islam seperti yang telah jelas diterangkan dalam ayat
suci Al-Qur’an yang tercantum surat Al-Ahzab ayat 4 :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ
أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ
أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ
وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan.
Yang kemudian larangan memasukkan anak orang lain ke dalam keluarga,
sehingga terjadi pertalian nasab dan saling mewarisi dan menimbulkan
permasalahan baru. Sedangkan dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129
melihat dari kejadian-kejadian orang yang mengangkat anak dengan motif
kebudayaan leluhurnya, seperti orang Tionghoa untuk pemujaan dan menjaga
abu orang tua angkatnya. Jadi bagi orang yang tidak mempunyai anak
laki-laki sangat penting mengangkat anak menjadi anak kandungnya.
Adapun perbedaan anak angkat menurut kompilasi Hukum Islam ia mendapat
bagian dari harta maksimal 1/3 dari seluruh harta yang ada. Hal tersebut
dinamakan dengan “Wasiat Wajibah”.
Sedangkan dalam Hukum Perdata atau BW (Staats Blad tahun 1917 No. 129)
bisa menguasai seluruh harta karena memandang anak angkat disamakan
dengan anak sendiri sehingga bisa menguasai seluruh harta orang tua
angkatnya.
Berdasarkan uraian-uraian pada bab di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut :
Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
kesejahteraan, terutama dalam masalah pendidikan serta memberikan kasih
sayang. Akan tetapi apabila hal yang demikian itu tidak sampai
memutuskan hubungan dengan orang tua kandung, maka pengangkatan anak
yang demikian itu adalah boleh-boleh saja dan nama yang diberikan kepada
anak angkat tersebut bukan sebagai anak angkat, akan tetapi menjadi
anak pungut dalam artian semua yang menjadi haram bagi anak pungut
tersebut tidak berarti haram semua baginya, karena dia boleh mengawini
anak asli dari bapak angkatnya. Akan tetapi haram, karena yang demikian
itu bukan muhrim baginya.
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat tersebut terputus
segalanya dari orang tua kandungnya, adalah pengangkatan anak yang yang
tidak boleh, bahkan sebagian ulama’ mengharamkan, karena secara logika
mereka telah memasukkan orang asing terhadap keluarganya, yang semula
haram bagi anak angkat tersebut, tiba-tiba menjadi halal, karena anak
angkat yang disamakan dengan anak kandung. Begitu pula sebaliknya,
hal-hal yang menjadi halal bagi anak angkat tersebut akan menjadi haram.
Seperti mengawini anak kandung dari bapak angkatnya.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209
dalam kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang tidak menerima
wasiat tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya”. Wasiat wajibah merupakan salah satu
pemecahan dan merupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang
memberi hak dan kewajiban terhadap anak angkat untuk memperoleh warisan
dari orang tua angkat. Wasiat wajibah memiliki pengertian sebagai
berikut:
a. Wasiat wajibah adalah yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai
aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang
yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam
keadaan tertetu. Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal
yaitu:
Hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan muncullah unsur
kewajiban melalui sebuah perundangan atau surat keputusan tanpa
tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetuuan sipenerima
wasiat,
Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki- laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.
b. Makna wasiat wajibah, seseorang di anggap menurut hukum telah
menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata, anggapan hukuman
itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan
wajib berwasiat maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat di aggap
ada dengan sendirinya.
Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah
di dalam al-qur’an ( surat al- Baqarah: 180-181), sedangkan inti ayat
ini yaitu orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sementara ia memiliki
harta peninggalan yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat
untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa orang yang mengubah
isi wasiat tersebut maka menanggung akibatnya.
Dalam Staats Blad 1917 No. 38 pasal 12 dinyatakan “bahwa anak angkat
adalah disamakan dengan anak kandung yang lahir dari pasangan suami
istri yang mengangkatnya”. Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu
merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan
anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal
kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri
menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu
pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak
keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan
perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu
mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
- Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
- Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
- Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.