Perjanjian
mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dalam
perjanjian tersebut seketika pada saat perjanjian tersebut dibuat secara
sah. Demikian ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Syarat sah perjanjian itu sendiri antara lain adalah:
Dasar Hukum:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Akan
tetapi, perlu melihat lagi dalam hal perjanjian tersebut digunakan
sebagai bukti. Perjanjian termasuk ke dalam salah satu alat bukti
berdasarkan Pasal 1866 KUHPer yaitu bukti tertulis. Berdasarkan Pasal 1866 KUHPer dan Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB) (“HIR”), alat-alat bukti itu sendiri dalam hukum perdata ada bermacam-macam yang terdiri atas:
1. bukti tertulis;
2. bukti saksi;
3. persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPer dan Pasal 165 HIR, bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Bukti tulisan-tulisan otentik (akta otentik)
Yaitu suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu
dibuat (Pasal 1868 KUHPer dan Pasal 165 HIR).
2. Bukti tulisan-tulisan di bawah tangan
Suatu
akte yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tidak dengan
perantaraan pejabat umum, seperti misalnya akte jual beli, sewa-menyewa,
utang-piutang dan lain sebagainya yang dibuat tanpa perantaraan pejabat
umum (Penjelasan Pasal 165 HIR).
Akan
tetapi, walaupun akta otentik dan akta di bawah tangan atau perjanjian
di bawah tangan sama-sama merupakan alat bukti, kekuatan pembuktiannya
dapat menjadi berbeda. Kekuatannya dapat menjadi berbeda karena:
1. Akte
otentik itu merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang
segala hal yang disebutkan dalam akte itu dan juga tentang yang ada
dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja. Isi dari akte otentik itu
dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat
dibuktikan, bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai benar,
tetapi tidaklah demikian halnya (Penjelasan Pasal 165 HIR). Hal serupa juga dikatakan dalam Pasal 1870 KUHPer, bahwa akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
2. Sedangkan
untuk suatu akta di bawah tangan atau perjanjian di bawah tangan, akan
berlaku sebagai bukti yang sempurna sebagai suatu akta otentik jika
diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai (Pasal 1875 KUHPer dan Penjelasan Pasal 165 HIR).
Jika salah satu pihak memungkiri tulisan atau tanda tangannya, atau
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan
tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari
tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.
3. Perbedaan
lain adalah: apabila pihak lain mengatakan, bahwa isi akta otentik itu
tidak benar, maka pihak yang mengatakan itulah yang harus membuktikan,
bahwa akta itu tidak benar, sedangkan pihak yang memakai akta itu tidak
usah membuktikan, bahwa isi akta itu betul, sedangkan pada akta bawah
tangan, apabila ada pihak yang meragukan kebenaran akta tersebut, maka
pihak ini tidak perlu membuktikan, bahwa akta itu tidak betul, akan
tetapi pihak yang memakai akta itulah yang harus membuktikan bahwa akta
itu adalah betul (Penjelasan Pasal 165 HIR).
Jadi
yang menentukan kekuatan pembuktian suatu akta atau perjanjian bukanlah
adanya materai atau tidak pada perjanjian yang telah ditandatangani
tersebut. Tetapi kekuatan pembuktian terletak pada siapa yang membuat
akta atau perjanjian tersebut. Materai digunakan agar perjanjian
tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Apabila
perjanjian sewa menyewa rumah tersebut dibuat dalam bentuk akta
otentik (bukan dibuat oleh notaris atau dibuat di hadapan notaris), maka
sebagai akta di bawah tangan, perjanjian sewa menyewa tersebut memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna seperti akta otentik selama para
pihak mengakui akta tersebut. Akan tetapi apabila salah satu pihak tidak
mengakui adanya akta tersebut, dalam hal ini misalnya pihak yang
menyewakan tidak mengakui perjanjian sewa menyewa, maka Anda sebagai
pihak yang memakai akta itu untuk membuktikan bahwa ada hubungan sewa
menyewa atas rumah tersebut, harus membuktikan bahwa perjanjian itu
benar adanya.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB).