“Khazanah
hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang
sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk
menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Hukum Adat:
Bila
menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung
kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa
misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga
antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain
mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak
atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali,
pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak
tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak
tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan
kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak
Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
Hukum Islam:
Dalam
hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal
hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan
orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya
dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto,
S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).
Peraturan Perundang-undangan:
Dalam
Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah
anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan
sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan
menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan
tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak
tersebut.”