Dalam berbagai kesempatan diskusi mengenai pengaturan alat bukti
elektronik dalam UU ITE untuk proses peradilan pidana masih banyak
terdapat perbedaan penafsiran, khususnya dalam memahami Pasal 5 UU ITE.
Pertanyaan yang sering diajukan ialah apa yang dimaksud dengan
“perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia”?
Pasal 5 ayat (1) UU ITE menegaskan adanya dua jenis alat bukti dalam lingkup transaksi elektronik, yaitu:
Dua hal penting dari ketentuan tersebut ialah mengenai “perluasan dari alat bukti yang sah” dan “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”.
Pemahaman “perluasan” haruslah dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan yang dimaksud ialah:
Pemahaman “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia” maksudnya ialah bahwa sama seperti alat bukti yang diatur dalam KUHAP harus memenuhi persyaratan baik formil maupun materil agar dapat dinyatakan sah sebagai alat bukti, demikian juga dengan Alat Bukti Elektronik. UU ITE mengatur beberapa persyaratan – yang dapat dilihat dari segi formil maupun materi, sama seperti alat bukti lain dalam KUHAP – agar Informasi atau Dokumen Elektronik dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
Persyaratan formil yang dimaksud ialah persyaratan mengenai formalitas atau bentuk dari Informasi atau Dokumen Elektronik.
Pasal 5 ayat (1) UU ITE menegaskan adanya dua jenis alat bukti dalam lingkup transaksi elektronik, yaitu:
- Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik;
- Hasil cetak dari Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik;
Dua hal penting dari ketentuan tersebut ialah mengenai “perluasan dari alat bukti yang sah” dan “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”.
Pemahaman “perluasan” haruslah dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan yang dimaksud ialah:
- memperluas jumlah alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Dalam KUHAP diatur 5 (lima) alat bukti. Berdasarkan Pasal 5 UU ITE maka alat bukti dalam KUHAP ditambah satu alat bukti yaitu Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Inilah yang disebut dengan Alat Bukti Elektronik.
- memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik secara hakiki ialah surat. Alat Bukti surat telah diatur dalam KUHAP.
Pemahaman “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia” maksudnya ialah bahwa sama seperti alat bukti yang diatur dalam KUHAP harus memenuhi persyaratan baik formil maupun materil agar dapat dinyatakan sah sebagai alat bukti, demikian juga dengan Alat Bukti Elektronik. UU ITE mengatur beberapa persyaratan – yang dapat dilihat dari segi formil maupun materi, sama seperti alat bukti lain dalam KUHAP – agar Informasi atau Dokumen Elektronik dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
Persyaratan formil yang dimaksud ialah persyaratan mengenai formalitas atau bentuk dari Informasi atau Dokumen Elektronik.
- Pasal 5 ayat (4) UU ITE. Dengan perkataan lain, Informasi atau Dokumen Elektronik tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut berupa (a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, atau (b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
- Pasal 5 ayat (3) UU ITE
- Pasal 6 UU ITE
- Pasal 15 UU ITE
- Pasal 16 UU ITE
- berasal dari Sistem Elektronik yang andal, aman, dan bertanggung jawab;
- terjaga integritas, keotentikan, ketersediaan, dan menerangkan suatu keadaan, serta dapat dipertanggung jawabkan;