Dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”) diatur mengenai harta benda dalam
perkawinan. Harta benda dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan
harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama
perkawinan, yang terhadap harta bersama tersebut, suami atau isteri
dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Sedangkan, harta
bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan isteri
sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan.
Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan isteri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum. Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan perkawinan tersebut, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUP.
Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan isteri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum. Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan perkawinan tersebut, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUP.
Mengenai utang dalam perkawinan, oleh Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya
yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 34), dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utang
gemeenschap, yaitu suatu utang untuk keperluan bersama).
Menurut Subekti, untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau
isteri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita
pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi). Apabila tidak terdapat
benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda
bersama disita juga. Akan tetapi, jika suami yang membuat utang, benda
pribadi isteri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan
untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah benda
gemeenschap (benda bersama) dan apabila tidak mencukupi, maka benda
pribadi suami atau isteri yang membuat hutang itu disita pula.
Dalam hal ini, utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta
bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang
dengan persetujuan pasangan. Ini merupakan hal yang logis karena utang
yang dibuat oleh suami/isteri dapat berdampak pada harta bersama apabila
suami atau isteri tidak dapat melunasinya, dan untuk bertindak atas
harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.
Oleh karena itu, utang yang dibuat oleh isteri tanpa sepengetahuan dan
tanpa persetujuan suami, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta
suami (utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi
pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama
(akibat tidak adanya persetujuan).
Mahkamah Agung (“MA”) pernah mengadili kasus mengenai penggunaan harta
bersama tanpa sepengetahuan suami/isteri. Pada kasus tersebut seorang
suami menjual tanah yang merupakan harta bersama dalam perkawinan tanpa
persetujuan isterinya. Pada akhirnya, dalam Putusan Mahkamah Agung No.
Reg: 2691 PK/Pdt/1996 dinyatakan bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama
oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan suami isteri.” MA
lebih lanjut berpendapat bahwa, karena belum ada persetujuan isteri maka
tindakan seorang suami (Tergugat I) yang membuat perjanjian atas harta
bersama (tanah) adalah tidak sah menurut hukum.
Lebih lanjut, artikel tersebut juga menghubungkan Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan perjanjian (berkaitan
dengan harta bersama) yang dibuat tanpa persetujuan pasangan. Apabila
kita hubungkan dengan perjanjian penjaminan rumah tersebut (penjaminan
dengan hak tanggungan) maka perjanjian penjaminan tersebut dianggap
cacat hukum karena perjanjian dibuat tanpa persetujuan dari suami,
sehingga tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu mengenai kausa yang halal. Sebab Pasal
1337 KUHPer sudah menentukan bahwa, ”Suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Sementara, ketentuan Pasal 36
ayat (1) UU Perkawinanmengharuskan penggunaan harta bersama dilakukan
suami atau isteri atas dasar perjanjian kedua belah pihak. Artinya, jika
ditafsirkan secara a contrario Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan melarang
penggunaan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/isteri.
Hal ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan Dengan Tanah yang mengatakan pemberi hak tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang
bersangkutan. Dalam hal ini, isteri tidak memiliki kewenangan untuk
bertindak sendiri atas harta bersama. Tindakan hukum berkaitan dengan
harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan pasangan.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah