“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.”
Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :
a. Tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. Tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. Tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjikan,
b. Tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. Tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjikan,
Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri yang menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata :
“Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang
sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang”
Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang,
bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan
melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri
oleh undang-undang. Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang
merupakan akibat perbuatan manusia, yakni :
- Perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull)
- Perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull).
2. Timbulnya hak menuntut.
Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, interpellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan :
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan.
Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :
Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, interpellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan :
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan.
Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :
“Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan
perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi
kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh
pihak kreditur”.
Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa
diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga
pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering)
3. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)
Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi
kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata :
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu
menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai
untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak
perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.
Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan :
“Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri
atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat
diperolehnya”.
Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi,
penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan
jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan
diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage)
yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Sementara, dalam
perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan
pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana
bentuknya, tidak perlu perincian.
Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :
Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :
- Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976, menyatakan
“Besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.
- Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan :
“ Soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.